TUGAS 1
AKTIVITAS
- Pengertian Kelompok
Etnik Minoritas
Definisi mengenai kelompok
minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian
yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok minoritas adalah kelompok
individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau
bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai
‘kelompok’ yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan.
Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda
dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap
solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa.
Sehubungan dengan hal tersebut
beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial
yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang sangat
serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam terjadinya
disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai
daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap hak-hak
kelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan
pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan masih
‘belum terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas’.
Permasalahan yang dihadapi di
berbagai daerah Indonesia adalah masih banyak diskriminasi terhadap kelompok
minoritas baik etnis maupun agama, padahal mereka sebagai masyarakat atau suku
bangsa harus diberlakukan sama dengan kelompok mayoritas lainnya.
Dalam rangka pemajuan dan
perlindungan kaum minoritas antara lain adanya larangan diskriminasi karena
diskriminasi berdampak negatif pada kaum minoritas secara politik, sosial,
budaya dan ekonomi serta merupakan sumber utama terjadinya ketegangan.
Diskriminasi berarti menunjukan perbedaan, pengecualian, pembatasan atau
pengistimewaan apapun berdasarkan alasan seperti ras, warna kulit, bahasa,
agama atau asal-usul kebangasaan atau sosial, status kelahiran atau status
lainnya, yang mempunyai tujuan atau pengaruh untuk meniadakan atau merusak
pengakuan, penikmatan, pemenuhan semua hak dan kebebasan dari semua orang yang
setara.
Rambu-rambu perlindungan yang
penting yang akan menguntungkan kaum minoritas mencakup pengakuan sebagai
pribadi dihadapan hukum, persamaan dihadapan badan-badan pengadilan, persamaan
dihadapan hukum, perlindungan hukum yang sama disamping hak penting seperti
kebebasan beragama, menyatakan pendapat dan berserikat.
Dalam hubungan ini telah banyak
diberlakukan berbagai peraturan perundangan sebagai instrumen hukum dan HAM
nasional disamping instrumen HAM Internasional,
seperti: (a) Konvenan
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras 1965 (Pasal 1); (b)
Deklarasi UNESCO tentang Ras dan Prasangka Ras 1978 (Pasal 1, 2 dan 3); dan (c)
Deklarasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan 1981 (Pasal 2).
Sedangkan penjelasan ketentuan
umum Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, diskriminasi adalah
pembatasn, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan HAM dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Secara normatif bentuk
perlindungan hukum telah diatur melalui instrumen internasional maupun nasional
yang berkaitan dengan HAM terhadap kelompok minoritas, namun dalam implementasi
masih dinilai perlu untuk menjadi perhatian bersama. Hal ini mencakup pola
interaksi antara kelompok minoritas dengan kelompok lainnya untuk dilakukan
dengan baik berlandaskan azas keterbukaan dan toleransi terhadap tata nilai
semua kelompok yang ada di masyarakat.
Sumber : www.lfip.org
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Mayoritarianisme adalah agenda atau filosofi politik tradisional yang menyatakan
bahwa suatu mayoritas dalam populasi (dapat
berupa mayoritas agama, bahasa, atau faktor mayoritas lainnya) merupakan
kelompok utama dan berhak membuat keputusan yang berpengaruh bagi masyarakat
keseluruhan. Pandangan ini kini semakin dikritik dan sistem demokrasi semakin
membatasi sistem mayoritarianisme demi melindungi hak asasi warga negara.[1]
Dalam struktur politik mayoritarian yang
demokratik, kelompok mayoritas tidak akan mengabaikan partisipasi kaum
minoritas dalam proses demokrasi. Oleh pihak yang menentang, mayoritarianisme
kadang-kadang disebut sebagai pemerintahan ochlocracy (umum dinyatakan sebagai
hukum rimba), tirani atau kezaliman. Mayoritarianisme sering juga disebut
sebagai aturan mayoritas.
PROBLEM MAYORITAS
DAN MINORITAS DALAM INTERAKSI SOSIAL
Dalam kajian
sosiologis, kelompok keagamaan adalah buah dari gerakan sosial, sehingga
perilaku yang timbul dari individu di dalamnya sarat dengan simbol-simbol
agama. Persoalannya adalah sejauhmana peranan simbol-simbol agama yang ilahi (heavenly) itu mengejawantah dalam ranah sosial, ketika kelompok mayoritas
dan minoritas dari berbagai agama yang berbeda saling bergaul dalam suatu
masyarakat, dan ketika masing-masing simbol tadi yang berbeda saling
bersentuhan secara intens.
Untuk menjawab
persoalan itu, Puslitbang Kehidupan Beragama Bidang Hubungan Antar Agama
melakukan Studi tentang Kelompok
Minoritas Keagamaan di Beberapa Daerah, yang terdiri
dari: Muslim di Jayapura, Kupang dan Denpasar – Katolik di Mataram – Protestan
di Pangkal Pinang – Hindu di Kapuas – dan Budha di Pontianak. Secara khusus
kajian ini bertujuan menghimpun berbagai informasi dan aspirasi tentang : 1)
Kehidupan sosial kelompok masyarakat setempat; 2) Komunikasi internal kelompok
minoritas; 3) Komunikasi antar kelompok minoritas dan mayoritas keagamaan; 4)
Potensi Kerukunan; 5) Potensi Konflik; dan 6) Rekomendasi tindak lanjut.
Kajian ini menggali data melalui langkah-langkah
seperti; telaah literatur (penelusuran dokumentasi), laporan kajian serta
berita media massa terkait, wawancara dengan para nara sumber, dan pengamatan
lapangan terbatas. Bertolak dari kenyataan lapangan secara empirik, informasi,
aspirasi serta situasi yang ditelaah, peneliti berupaya menangkap suatu proses
atau temuan. Kemudian mencatat, mengklasifikasi, mengkomparasi, menganalisis,
menginterprestasi, dan menarik kesimpulan-kesimpulan pokok yang bersifat umum
dan menyeluruh. Kajian ini lebih menekankan pada makna yang ditangkap dari
berbagai peristiwa, perilaku, kebijakan, pemikiran serta kenyataan yang ditemui
(Kualitatif).
Temuan kajian
yang menjadi pendukung perdamaian:
1. Komunikasi
internal Muslim di Jayapura Papua, Kupang dan Denpasar sangat terbantu oleh
beragam kegiatan sosial keagamaan seperti pengajian, ceramah keagamaan,
khutbah, tahlilan, yasinan, kunjungan silaturrahmi, upacara selamatan upacara
daur hidup (life cycle), pertemuan
kelompok di tempat ibadah, Majelis Taklim, peringatan hari besar keagamaan,
organisasi dan partai politik kegamaan (Islam), lembaga pendidikan, kelompok
paguyuban, baik di tempat-tempat pemukiman, tempat kerja dan sentra-sentra
ekonomi.
2. Integrasi dan
kerukunan internal kelompok Muslim setempat relatif terjalin baik. Hal tersebut
ditopang oleh faktor-faktor seperti besarnya pengaruh tokoh-tokoh Muslim,
frekwensi dan efektivitas forum-forum sosial keagamaan, serta jumlah umat yang
relatif kecil sehingga lebih mudah dibina. Khusus kelompok Muslim minoritas di
Jayapura (atau Papua), yang umumnya terdiri dari para pendatang dari berbagai
etnis, kerukunan internal sangat dipengaruhi oleh peran sentral dan hubungan
baik para tokoh organisasi paguyuban yang dominan di bidang ekonomi dan di
bidang publik di samping pengaruh dan peran para tokoh agama. Semangat dan
perasaan senasib dan seperantauan (diaspora) di kalangan
pendatang Muslim di Jayapura, sangat menonjol, khususnya setelah kerusuhan bernuansa
etnis antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli Papua tahun 2000
silam.
3. Tak banyak
berbeda dengan kelompok Muslim, komunikasi internal di kalangan kelompok
minoritas Katolik di Ampenan, kelompok Protestan di Pangkal Pinang, Hindu di
Kapuas dan kelompok Budha di Pontianak, berlangsung melalui berbagai aktifitas
rutin keagamaan di lingkungan kelompok dengan bimbingan
tokoh agama masing-masing, di tempat-tempat ibadah, pemukiman,
asosiasi-asosiasi kekerabatan, dan dalam berbagai kegiatan sosial kemanusiaan.
Integrasi kelompok terbina tanpa banyak hambatan antara lain karena jumlah
anggota relatif kecil, fokus pembinaan lebih diarahkan kedalam (internal),
sikap tidak saling mengganggu dan kepatuhan kepada pemerintah dan tokoh agama.
4. Komunikasi antara
kelompok minoritas dengan mayoritas pada umumnya berlangsung normal dan rukun.
Walaupun sesekali ada hambatan-hambatan, masih dapat dikendalikan. Berbagai
faktor yang menguntungkan dan menopang terciptanya kondisi dan suasana yang rukun
meliputi : a). Adanya saling
ketergantungan antar kelompok dalam upaya pemenuhan kebutuhan, b). Penggunaan
bahasa Indonesia dan keterikatan dalam NKRI, khususnya di Jayapura, c).
Hubungan baik antar tokoh dan adanya forum-forum lintas agama, etnis serta
profesi, d) Sikap menahan diri dan menyesuaikan diri kelompok minoritas
terhadap aspirasi mayoritas dan kearifan budaya lokal, e) Otonomi daerah yang
memberikan peran sentral kepada Pemda setempat, f). Ajaran agama dan fokus
pembinaan lebih terarah pada pembinaan kelompok internal, g). Ikatan
kekerabatan, kekeluargaan dan kerjasama lintas etnis dan budaya serta
profesi.
Sedangkan,
aspek-aspek yang berpotensi dan dapat mengganjal upaya integrasi dan kerukunan
antara lain:
1. Adanya aspirasi
dan kehendak sebagian tokoh setempat untuk melepaskan diri dari NKRI di Papua.
2. Adanya aspirasi
sementara tokoh Kaharingan untuk melepaskan diri dari Kelompok Hindu di Kapuas.
3. Perilaku penodaan
agama (Hostia) yang sesekali muncul di lingkungan kelompok Katolik di Kupang
(NTT).
4. Keluhan masih
adanya kesulitan mendirikan tempat ibadah dan kuburan bagi masyarakat Muslim.
5. Fenomena praktek
KKN yang masih menggejala serta upaya penegakan hukum yang tumpul.
6. Sentimen kesukuan
dan kedaerahan cenderung makin kental.
7. Kesenjangan
kehidupan ekonomi dan sosial antara kelompok minoritas pendatang yang relatif
lebih baik dibandingkan dengan rata-rata kelompok mayoritas yang merupakan
masyarakat setempat.
Dari itu, beberapa rekomendasi
dari kajian ini adalah perlunya mengefektifkan forum-forum lintas agama, etnis
dan profesi, dengan kalangan masyarakat lebih luas seperti lembaga perguruan
tinggi, media massa, pengusaha, kawula muda dan kelompok perempuan, sampai ke
tingkat kecamatan dan pedesaan. Dari forum ini digalakkan dialog yang
menonjolkan tema-tema yang menyangkut kepentingan kemanusiaan yang universal
dalam rangka pencarian titik-titik temu oleh masing-masing kelompok umat
beragama. Sehingga setiap komponen masyarakat bisa saling belajar mengenai
sendi-sendi keberagamaan orang lain. Ini nantinya membuka peluang untuk saling
mengerti dan menjelmakan suasana nyaman dan kondusif buat kerukunan. (Mursyid Ali).
2. Pola hubungan di masyarakat sekitar saya, saya kira baik-baik saja (desa tempat saya tinggal). Tetapi sebagian diantara mereka hidup berkelompok-kelompok, dan ada pula yang menyendiri. Seakan-akan mereka tidak ingin diganggu oleh masalah yang ada di luar. Termasuk saya dan anggota keluarga saya kurang akrab dengan masyarakat yang ada di sekitar lingkungan desa saya. karena mereka pun tak ingin berbaur dengan masyarakat di sekitar mereka.
Kadang saya pun heran mengapa mereka demikian. Mereka seperti membeda-bedakan antara masyarakat yang kaya dan yang miskin. Mnurut saya pun masyarakat di lingkungan desa yang saya tinggali itu tidak ingin maju. Karena mereka tidak mau atau sulit menerima pendapat orang lain.